
Coelacanth
(artinya duri yang berongga, dari perkataan Yunani coelia, (berongga)
dan acanthos, (duri), merujuk pada duri siripnya yang berongga) IPA:
adalah nama ordo (bangsa) ikan yang antara lain terdiri dari sebuah
cabang evolusi tertua yang masih hidup dari ikan berahang. Coelacanth
diperkirakan sudah punah sejak akhir masa Cretaceous 65 juta tahun yang
lalu, sampai sebuah spesimen ditemukan di timur Afrika Selatan, di
perairan sungai Chalumna tahun 1938. Sejak itu Coelacanth telah
ditemukan di Komoro, perairan pulau Manado Tua di Sulawesi, Kenya,
Tanzania, Mozambik, Madagaskar dan taman laut St. Lucia di Afrika
Selatan. Di Indonesia, khususnya di sekitar Manado, Sulawesi Utara,
spesies ini oleh masyarakat lokal dinamai ikan raja laut. Coelacanth
terdiri dari sekitar 120 spesies yang diketahui berdasarkan penemuan
fosil.
Fosil Hidup
Sampai
saat ini, telah ada 2 spesies hidup Coelacanth yang ditemukan yaitu
Coelacanth Komoro, Latimeria chalumnae dan Coelacanth Sulawesi,
Latimeria menadoensis. Hingga tahun 1938, ikan yang berkerabat dekat
dengan ikan paru-paru ini dianggap telah punah semenjak akhir Masa
Kretaseus, sekitar 65 juta tahun yang silam. Sampai ketika seekor
coelacanth hidup tertangkap oleh jaring hiu di muka kuala Sungai
Chalumna, Afrika Selatan pada bulan Desember tahun tersebut. Kapten
kapal pukat yang tertarik melihat ikan aneh tersebut, mengirimkannya ke
museum di kota East London, yang ketika itu dipimpin oleh Nn. Marjorie
Courtney-Latimer. Seorang iktiologis (ahli ikan) setempat.
Dr. J.L.B. Smith kemudian mendeskripsi ikan tersebut dan menerbitkan artikelnya di jurnal Nature pada tahun 1939. Ia memberi nama Latimeria chalumnae kepada ikan jenis baru tersebut, untuk mengenang sang kurator museum dan lokasi penemuan ikan itu. Coelacanth pertama yang ditemukan di Afrika Selatan, di hadapan Nn. Courtenay-Latimer, kurator museum East London. Pencarian lokasi tempat tinggal ikan purba itu selama belasan tahun berikutnya kemudian mendapatkan perairan Kepulauan Komoro di Samudera Hindia sebelah barat sebagai habitatnya, di mana beberapa ratus individu diperkirakan hidup pada kedalaman laut lebih dari 150 m. Di luar kepulauan itu, sampai tahun 1990an beberapa individu juga tertangkap di perairan Mozambique, Madagaskar, dan juga Afrika Selatan. Namun semuanya masih dianggap sebagai bagian dari populasi yang kurang lebih sama. Pada tahun 1998, enampuluh tahun setelah ditemukannya fosil hidup coelacanth Komoro, seekor ikan raja laut tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara.
Dr. J.L.B. Smith kemudian mendeskripsi ikan tersebut dan menerbitkan artikelnya di jurnal Nature pada tahun 1939. Ia memberi nama Latimeria chalumnae kepada ikan jenis baru tersebut, untuk mengenang sang kurator museum dan lokasi penemuan ikan itu. Coelacanth pertama yang ditemukan di Afrika Selatan, di hadapan Nn. Courtenay-Latimer, kurator museum East London. Pencarian lokasi tempat tinggal ikan purba itu selama belasan tahun berikutnya kemudian mendapatkan perairan Kepulauan Komoro di Samudera Hindia sebelah barat sebagai habitatnya, di mana beberapa ratus individu diperkirakan hidup pada kedalaman laut lebih dari 150 m. Di luar kepulauan itu, sampai tahun 1990an beberapa individu juga tertangkap di perairan Mozambique, Madagaskar, dan juga Afrika Selatan. Namun semuanya masih dianggap sebagai bagian dari populasi yang kurang lebih sama. Pada tahun 1998, enampuluh tahun setelah ditemukannya fosil hidup coelacanth Komoro, seekor ikan raja laut tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara.
Ikan
ini sudah dikenal lama oleh para nelayan setempat, namun belum
diketahui keberadaannya di sana oleh dunia ilmu pengetahuan. Ikan raja
laut secara fisik mirip coelacanth Komoro, dengan perbedaan pada
warnanya. Yakni raja laut berwarna coklat, sementara coelacanth Komoro
berwarna biru baja. Ikan raja laut tersebut kemudian dikirimkan kepada
seorang peneliti Amerika yang tinggal di Manado, Mark Erdmann, yang
kemudian bersama dua koleganya, R.L. Caldwell dan Moh. Kasim Moosa dari
LIPI, menerbitkan temuannya di Nature, 1998. Maka kini orang mengetahui
bahwa ada populasi coelacanth yang kedua, yang terpisah menyeberangi
Samudera Hindia dan pulau-pulau di Indonesia barat sejauh kurang-lebih
10.000 km.
Belakangan,
berdasarkan analisis DNA-mitokondria dan isolasi populasi, beberapa
peneliti Indonesia dan Prancis mengusulkan ikan raja laut sebagai
spesies baru Latimeria menadoensis. Dua tahun kemudian ditemukan pula
sekelompok coelacanth yang hidup di perairan Kawasan Lindung Laut
(Marine Protected Areas) St. Lucia di Afrika Selatan. Orang kemudian
menyadari bahwa kemungkinan masih terdapat populasi-populasi coelacanth
yang lain di dunia, termasuk pula di bagian lain Nusantara, mengingat
bahwa ikan ini hidup terisolir di kedalaman laut, terutama di sekitar
pulau-pulau vulkanik. Hingga saat ini status taksonomi coelacanth yang
baru ini masih diperdebatkan. Pada bulan Mei 2007, seorang nelayan
Indonesia menangkap seekor coelacanth di lepas pantai Provinsi Sulawesi
Utara. Ikan ini memiliki ukuran sepanjang 131 centimeter dengan berat 51
kg ketika ditangkap.
Catatan Lain
Coelacanth
memiliki ciri khas ikan-ikan purba, ekornya berbentuk seperti sebuah
kipas, matanya yang besar, dan sisiknya yang terlihat tidak sempurna
(seperti batu). Di Bunaken pernah ditemukan seekor coelacanth hidup
berenang dengan bebasnya. Ukurannya kira-kira 2/3 tubuh orang dewasa dan
tubuhnya berwarna ungu gelap.


0 komentar:
Posting Komentar